Majelis Lingkungan Hidup - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Lingkungan Hidup
.: Home > Artikel

Homepage

ISU GENDER DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN

.: Home > Artikel > Majelis
18 Juni 2012 14:10 WIB
Dibaca: 4947
Penulis : Ane Permatasari (Anggota MLH PP Muh)

Manusia di dalam kehidupannya sangat  mengandalkan air, lahan, energi, keanekaragaman hayati dan ekosistem yang sehat untuk menjamin kelangsungan penghidupan mereka dan asset alam sangat penting untuk keluar dari kondisi pemiskinan.  Banyak isu lingkungan yang tadinya berdiri sendiri sebagai isu lingkungan seperti perubahan iklim dan bencana, sekarang bergeser menjadi isu pembangunan secara umum dan politik karena luasnya dampak yang ditimbulkan semakin masif dan mempengasruhi hampir semua sektor kehidupan.  Salah satu kelompok penerima dampak terbesar, jika kita bicara tentang lingkungan dan menurunnya fungsi layanan aset alam adalah perempuan.  Perempuan dan pembedaan peran perempuan dalam masyarakat di Indonesia membuat beban yang lebih bagi perempuan. Perempuan sering mengalami ketidakadilan akibat pembedaan gender tersebut.

Paradigma pembangunan yang lebih berorientasi daratan dengan mengabaikan kekhasan Indonesia sebagai negara kepulauan, juga semakin mengeksploitasi sumber daya laut dan pesisir yang menggusur ribuan nelayan, terutama perempuan nelayan, dari ruang hidupnya. Kehancuran sumber daya laut semakin diperparah dengan pencemaran limbah industri dan kerusakan hutan mangrove, sehingga menjadi kelumrahan kemudian juga angka pemiskinan begitu tinggi di wilayah pesisir Indonesia.  Dalam kondisi seeprti ini seklipun, tampaknya belum ada political will dari perintahj untuk membuat kebijakan publik yang lebih berpihak kepada masyarakat pesisir.

Begitui banyak permasalahan berkaitan dengan pengelolaan lingkungan yang terjadi diIndonesia. Kelangkaan air terus menerus menjadi krisis rutin di Indonesia, bencana kekeringan dan tingkat pencemaran industri yang tinggi, mengakibatkan perempuan semakin sulit untuk bisa mengakses air bersih dan menjaga ketahanan pangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Di kota, perempuan semakin ditekan dengan menjamurnya budaya konsumtif yang didorong oleh industrialisasi pusat perbelanjaan. Budaya ini kemudian menghasilkan timbunan sampah, pencemaran air tanah dan menciutnya ruang terbuka publik.  Ditambah lagi dengan ancamana solusi teknologi yang justru berdampak buruk bagi kesehatan, seperti teknologi incenerator.

Ironisnya, ketika bencana ekologis terus menerus terjadi karena kesalahan pendekatan pembangunan, pemerintah pun tidak mampu memberikan perlindungan yang layak kepada jutaan perempuan yang tinggal di berbagai wilayah yang rentan terhadap bencana. Pemerintah melakukan pengabaian hak rakyat, khususnya perempuan, dalam pemenuhan hak-hak dasarnya pada pasca bencana terutama pada tahap tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Bencana-bencana yang secara beruntun melanda negeri ini, menjadi cermin tretak yang menggambarkan betapa lambannya pemerintah menangani masalah tersebut. Pada kondisi ini, perempuanlah yang paling dirugikan karena dalam bencana korban terbesar adalah perempuan dan anak.

Selama ini, kerusakan lingkungan dan aset alam belum merefleksikan sisi pandang perempuan. Budaya patriarki yang telah menggeser kedaulatan perempuan dalam mengelola dan menentukan pangan telah membuat pandangan perempuan tentang kehidupan menjadi kabur, tidak dipahami oleh laki-laki, bahkan oleh perempuan sendiri.  Perempuan juga masih ditinggalkan dalam proses pengambilan kebijakan. Jika melihat bahwa persoalan lingkungan hidup dan aset alam sebagai sebuah proses politik, perempuan banyak ditinggalkan dalam proses pengambilan keputusan politik untuk dapat mengakses sumber-sumber kehidupannya. Padahal, perempuan menjadi garda terdepan dalam upaya pelestarian lingkungan hidup dimulai dari tingkatan keluarganya, hingga mengambil peran penting dalam mengelola aset alam.

Fenomena isu gender yang muncul dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia dilatarbelakangi oleh struktur dan budaya masyarakat yang membuat pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan, yang dalam hal ini perempuan menjadi termarginalkan. Persoalannya, pembedaan tersebut kemudian cenderung menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai korbannya. Beban laki-laki dalam ruang publik menjadi lebih besar sekaligus lebih berat, sementara potensi yang dimiliki perempuan tidak mampu berkembang karena perannya di ruang publik menjadi terbatas.


Tags: gender , lingkungan
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : Umum

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website